http://reaksinasional.idREAKSI BANDUNG – Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat (Jabar) meminta Rancangan Perubahan KUA-PPAS Tahun Anggaran (TA) 2022 fokus pada pemulihan ekonomi dan pengendalian inflasi.
Anggota Bangar DPRD Jabar, R. Yunandar Rukhiadi Eka Perwira menyebutkan, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) semester 1 Tahun Anggaran (TA) 2022 mencapai lima puluh persen.Menurutnya, realisasi itu diprediksi bakal kembali meningkat.
Terlebih, terdapat penambahan anggaran sebesar Rp2,4 triliun.
“Anggaran yang direalisasikan sudah mencapai lima puluh persen. Ini kemungkinan akan meningkat disebabkan ada penambahan anggaran direncana perubahan itu sebanyak Rp2,4 triliun. Saya lihat sumbernya terbesarnya dari SILPA dan PKB Rp800 miliar,” kata Yunandar kepada media di ruangan kerjanya, Selasa, 6 September 2022.
Menurut Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan kondisi saat ini perlu diperhatikan meskipun program Pemprov Jabar telah berjalan.Apalagi, saat ini harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsisi naik. Hal tersebut dikhawatirkan mempunyai efek domino
sehingga menyebabkan kenaikan angka inflasi,tegas Yunandar.
Lebih lanjut dikatakannya harus melihat kondisi saat ini. Jika pertumbuhan ekonomi bagus tapi inflasinya tinggi, itu tidak terlalu berdampak di masyarakat. Artinya, harus ada pemulihan di sektor produksi dan distribusi. Agar barang terjaga, daya beli masyarakat pun
tidak menurun,tuturnya Yunandar.
Menurutnya banyak hal yang perlu dilakukan Pemprov Jabar selain mengefektifkan sisi produksi, dan distribusi. Tujuannya agar bisa memotong rantai pasok dan mengurangi biaya pupuk yang kian mahal.
“Bagaimana pupuk ini bisa diproduksi secara lokal. Seharusnya bisa. Setiap produski, seharusnya punya pusat produksi pupuk. Kita bisa membangun pusat pupuk organik. Yang bersumber dari pertanian itu sendiri. Namun tidak pernah dilakukan oleh Pemprov Jabar,” jelasnya.
Yunandar yang juga Sekretaris Komisi II DPRD Jabar, menilai Pemprov Jabar seolah tidak memikirkan soal pupuk hanya melihat hasilnya saja. Sehingga setelah subdisi ditarik, petani tak bisa memproduksi. Alhasil, menambah biaya produksi dan menyebabkan inflasi.
Lebih lanjut, dia menyebutkan, per Agustus 2022 Indeks harga hasil produksi pertanian (IT) turun sebesar 0,28 persen dan Indeks harga yang dibayar petani (IB) turun sebesar 0,52 persen.
Sementara Nilai Tukar Petani (NTP) terbilanh rendah meskipun mengalami kenaikan sebesar 0,25 persen dibandingkan Juli 2022, dari 99,97 menjadi 100,22.
“NTP di Jabar terbilang rendah. Karena, biaya produksi petani yang sangat tinggi. Di daerah lain seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah NTP nya pun di atas seratus. Artinya, petani mendapatkan hasil. Mengeluarkan uang Rp100 ribu dia mendapatkan keuntungannya. Sementara di Jabar tidak,” sebut dia.
Saat disinggung mengenai program Pemprov Jabar dalam pengendalian inflasi, ia mengungkapkan bahwa di APBD 2022 tidak ada anggaran untuk pertolongan terhadap petani. Terutama dalam menggulirkan pupuk lokal maupun dana bergulir untuk meringankan beban para petani.
“Program itu tak ada. Terkait benih pun tak dipikirkan. Jangankan benih, soal ayam telor saja pemerintah tidak siap menyedikan indukan itu. Pemerintah Jabar tidak begitu melihat betul kondisi di bawah,” tegasnya.
Program Pemprov Jabar dengan kenyataan masyarakat sangat tidak relavan.Menurutnya, seharusnya Pemprov Jabar melihat pada kenyataan, tidak hanya melihat data makro inflasi dari BPS saja,pungkas Legislator Daerah Pemilihan Jabar 1 meliputi Kota Bandung dan Kota
Cimahi.